DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
1.1 Latar
Belakang..............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................
2
1.3 Tujuan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
3
2.1 Teori Pembelajaran menurut Thorndike........................................
3
2.2 Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran .......................... 10
BAB III PENUTUP....................................................................................... 12
3.1 Simpulan....................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Belajar merupakan proses perubahan
tingkah laku pada diri manusia. Kegiatan belajar sangat dipengaruhi
bermacam-macam faktor.Metode dan strategi belajar sangat menentukan
keberhasilan pembelajaran.Keberhasilan siswa mencapai suatu tahap hasil belajar
memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya.
Mengajar tidak secara otomatis menjadikan siswa
belajar. Seorang guru sebaiknya memiliki pola pembelajaran yang dapat
menerangkan proses, menyebutkan dan menghasilkan lingkungan belajar tertentu
sehingga siswa dapat berinteraksi yang selanjutnya berakibat terjadinya perubahan
tigkah laku siswa secara khusus. Melalui pemahaman berbagai model pembelajaran
yang banyak dikembangkan di kelas, seorang guru dapat mengembangkan strategi
pembelajaran lewat pemikiran di belakang meja sebelum yang bersangkutan
menghadapi siswa.Model pembelajaran dapat membantu guru dalam penguasaan
kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan upaya mengubah tingkah laku
siswa sejalan dengan rencana yang telah ditetapkan.Hal ini berarti model
pembelajaran diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas.
Strategi pembelajaran
tidak terlepas dari teori belajar yang dihasilkan oleh pakar-pakar
pendidikan.Teori belajar yang bersumber dari pakar pendidikan atau pakar
psikologi pendidikan banyak macamnya. Misalnya teori belajar assosiasi, teori
belajar conditioning, teori belajar
deduktif hipotesis, teori belajar sosial, teori belajar eklektif, teori belajar
medan kognitif, teori belajar kognitif, teori belajar pemrosesan informasi dan
sebagainya.
Disadari atau tidak,
mungkin saja para guru atau pendidik di sekolah sudah menerapkan sebagian dari
teori-teori itu dalam melaksanakan tugasnya, mungkin juga dengan tidak
disadarinya guru telah menggunakan kombinasi delapan teori belajar yang relevan
untuk para siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun dalam pembahasan
makalah ini, hanya akan dikhususkan pada bagaimana teori pembelajaran menurut
Thorndike.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah di dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah teori pembelajaran menurut Thorndike ?
1. Bagaimanakah teori pembelajaran menurut Thorndike ?
2. Bagaimana penerapan teori pembelajaran Thorndike
dalam matematika?
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui teori pembelajaran menurut Thorndike.
1. Untuk mengetahui teori pembelajaran menurut Thorndike.
2. Untuk mengetahui
penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam matematika.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Teori
Pembelajaran Thorndike
Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah
salah seorang penganut paham psikologi tingkah-laku. Berdasarkan hasil
percobaannya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia
mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism).
Bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun
pada manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai “trial and error learning” atau
“learning by selecting and connecting”.Organisme dihadapkan kepada situasi yang
mengandunhg problem untuk dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar itu
akan memilih respon yang tepat diantara berbagai respon yang mungkin akan
dilakukan. Eksperimen-eksperimen Thorndike yang mula-mula modelnya adalah
demikian ini, dan terutama dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai subyek
dalam eksperimen itu.Eksperimennya yang khas ialah dengan kucing yang masih
muda yang kebiasaan-kebiasaannya belum kaku, dibiarkan lapar; lalu dimasukkan
ke dalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu kurungan itu
dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu
kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar mencapai makanan yang ditempatkan
di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar
itu. Pada usaha (trial) yang pertama kuycing itu melakukan bermacam-macam gerakan
yang kurang relevan misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya sampai kemudian
menyentuh tombol dan pintu terbuka.Waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang
pertama adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan berulang-ulang
pada usaha atau trial berikutnya ternyata waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan problem itu makin singkat. Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike
demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari
kurungan itu, tetpai dia belajar mencamkan (mempertahankan) respon-respon yang
benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah”. Teori
tersebut menyatakan bahwa belajar pada hewan dan manusia pada
dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus
tersebut. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan
eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau
berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena
adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”bond” atau ”connection”. Dalam hal
ini, akan akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau
hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan
oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan
cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu
tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Iamengemukakan beberapa
hukum belajar yang dikenal dengan sebutan law
of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil jika respon sisw
terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa
senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akaibat anak mendapatkan pujian
atau ganjaran lainnya.Stimulus ini termasukreinforcement.Setelah
anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak
muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh
suatu kesuksesan yang pada pilihannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang
kesuksesan berikutnya.
Teori
belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnyabelajar merupakan
proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa
dalil atau hukum kesiapan (law of readiness),
hukum latihan (law of exercise) dan
hukum akibat (law of effect).
Thorndike
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hukum-hukum berikut:
(1) Hukum
kesiapan(Law of readiness)
Hukum kesiapan adalah prinsip tambahan
yang menggambarkan taraf fisiologis bagi law of effect.Hukum ini menunjukkan
keadaan-keadaan dimana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau
ketidakpuasaan, menerima atau menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga
keadaan yang demikian itu, yaitu:
1. Jika
suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit
tersebut akan memberi kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain untuk
mengubah konduksi itu.
2. Unit
konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan
menimbulkan ketidak-puasan, dan akan menimbulkan respon-respon yang lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan, dan akan berakibat dilakukannya
tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan itu.
3. Apabila
unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka
konduksi itu akan menimbulkan ketidak-puasan, dan berakibat dilakukannya
tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan itu.
Jadi,
apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuain diri atau hubungan
dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecendrungan itu di dalam tindakan
akan memberikan kepuasan, dan dan tidak memenuhi kecendrungan tersebut akan menimbulkan
ketidak-puasan. Jadi sebenarnya readiness
itu adalah persiapan untuk bertindak, ready
to act.
Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk
bertindak dan kemudian melakukan kegiatan, sedangkan tindakannya itu
mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya
dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.
Seorang
anak yang tidak mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan
tertentu, sedangkan orang tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa yang
dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan
melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut.
Dari
ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil
belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
(2)
Hukum
latihan (law of exercise)
Hukum ini mengandung dua hal yaitu:
1.
Law
of use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah
atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
2.
Law
of disuse: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah
atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
Interpretasi
dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah
terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respondilatih
(digunakan), maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini
menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu
materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat
tersimpan dalam ingatan (memori).
(3)
Hukum
akibat (law of effect)
Law
of effectini menunjukkan
kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat dari pada hasil respon
yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi dibuat dan disertai atau
diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah,
sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan
yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya
apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak
memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang. Konkretnya adalah sebagai
berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal
matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa
senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat
tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang
diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan
diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat
yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi
pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut
ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan
guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang
dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik
ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru
atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika
siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya.Namun perlu diingat,
sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru
membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Perumusan mengenai law
of effect banyak mendapat kritik. Pada pokoknya ada dua macam keberatan
yang diajukan keadaan,
1.
Kepuasan
dan ketidak-puasan itu adalah istilah subyektif, jadi tidaklah tepat untuk
menggambarkan tingkah laku hewan. Tetapi sebenarnya yang dimaksud dengan
Thorndike sebagai keadaan yang memuaskan dan tidak memuaskan itu adalah sebagai
berikut: keadaan yang tidak memuaskan itu adalah keadaan dimana hewan tidak
berusaha untuk mempertahankannya, sering berusaha untuk mengakhiri keadaan
tersebut. Keadaan yang memuaskan adalah keadaan dimana hewan tidak berusaha
untuk menghindarinya sering mengulang-ulanginya, jadi, kalau dikatakan bahwa
Thorndike kurang obyektif itu sebenarnya adalah kurang tepat.
2.
Pengaruh
(effect) daripada apa yang dialami
atau terjadi di masa lampau yang dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa
yang lampau adalah sudah lampau, dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan kini.
Yang dimaksud oleh Thorndike mengenai hal ini adalah demikian:
Pengaruh (effect)
itu ternyata di dalam kemungkinan terjadinya respon apabila situasi yang akan
datang terjadi; tentang apakah pengaruh itu benar-benar terjadi atau tidak,
adalah masalah observasi, jadi bukanlah hal yang harus ditolak secara apriori.
Memang
perumusan-perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Kalau
dikatakan dengan kata-kata yang sederhana apa yang dimaksud oleh Thorndike itu
adalah demikian : hadiah atau sukses akan berakibat dilanjutkannya atau
diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang hukuman atau
kegagalan akan mengulangi tingkah laku yang membawa hukuman atau kegagalan itu.
Ketiga hukum
yang telah dikemukakan itu adalah hukum-hukum primer (primary-laws). Kecuali ketiga hukum-hukum pokok atau hukum-hukum
primer itu Thorndike mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subside atau
hukum-hukum minor (subsidiary laws, minor
laws). Kelima hukum subsider tersebut merupakan prinsip-prinsip yang
penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak sepenting hukum-hukum
primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer dan hukum-hukum subsider itu
tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih kemudian
hukum-hukum subsider tersebut kadang-kadang dipakai lagi. Adapun ke lima hukum
subsider tersebut adalah:
1.
Law of multiple respon,
Merupakan langkah permulaan dalam proses
belajar. Melalui proses “ trial and error “
seseorang akan melakukan
bermacam – macam
respons sebelum memperoleh respons
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.
2.
Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri individu
yang menentukanapakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Proses belajar individu dapat
berlangsung dengan
baik, lancar, bila
situasi menyenangkan dan terganggu bila situasi tidak menyenangkan.
3.
Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan bahwa
manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai
dengan presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons selektif
), dengan demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada
stimulus yang sama.
4.
Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dapat
melakukan respon pada situasi yang belum dialami karena
mereka dapat menghubungkan situasi yang baru yang
belum pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi perpindahan ( transfer ) unsur – unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi perpindahan ( transfer ) unsur – unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
5.
Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses
peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi
yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara
ditambahkanya sedikit demi sedikit unsur – unsur ( elemen )
baru dan membuang unsur – unsur lama sedikit demi
sedikit, yang menyebabkan suatu respons
dipindahkan dari suatu situasi yang sudah dikenal ke
situasi lain yang baru sama sekali.
Selain
hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang
disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru,
karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik
dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang
identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan.Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu
ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan
harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain.
Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus
dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik.Dengan
demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam
pikiran siswa.Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai
dengan sering melakukan latihan.
Eksperimen – eksperimen
yang dilakukan oleh Thorndike banyak mengalami perkembangan
sehingga
timbulah revisi – revisi pada teorinya, antara lain:
timbulah revisi – revisi pada teorinya, antara lain:
a.
Hukum
latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum
tentu melemahkan hubungan stimulus – respons.
b.
Hukum
akibat direvisi, karena dalam penelitianya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya
sebagian saja dari hukum ini yang benar. Dengan ini maka untuk hukum akibat
dijelaskan, bila hadiah akan meningkatkan hubungan stimulus – respons, tetapi
hukuman ( punisment ) tidak mengakibatkan efek apa – apa. Dengan revisi ini
berarti Thorndike tidak menghendaki adannya hukuman dalam belajar.
c.
Belongingness,
yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus – respons bukannya
kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut. Dengan
demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.
d.
Spread
of Effeck, yang intinya dinyatakan, akibat dari suatu perbuatan yang dapat
menular.
2.2. Penerapan Teori Thorndike dalam
Pembelajaran Matematika
Aplikasi
teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik
telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.Penerapan
yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah sebagai berikut:
a.
Sebelum
memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap
mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
b.
Pembelajaran
yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan
agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
c.
Dalam
proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara
yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya
bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap
materi yang diberikan.
d.
Pengulangan
terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi
terkait lebih lama.
e.
Supaya
peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari
yang sederhana hingga yang kompleks.
f.
Peserta
didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum
baik harus segera diperbaiki.
g.
Dalam
belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama
ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya
respon yang benar terhadap stimulus.
h.
Materi
yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak
kelak setelah dari sekolah
i.
Thorndike
berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu
bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak
diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon
apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons
yang salah.
j.
Tujuan
pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus
terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan
menurut bermacam – macam situasi.
III.
SIMPULAN
Teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan
koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangkan menilai
respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya
atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara
lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Teori belajar
stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga koneksionisme.
Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau
hukum kesiapan (law of readiness),
hukum latihan (law of exercise) dan
hukum akibat (law of effect).
Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer
of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap
masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan
unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki.
DAFTAR
PUSTAKA
Suryabrata,
S.. 1995. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Gredler,
M. E.. 1994. Belajar dan Membelajarkan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suherman,
dkk. 2003. Strategi pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: Jica.
Akhmadan,Widyastuti. (2010).Toeri Asosiasi dari Edward L Thorndike.Tersedia di http://blog/unsri.ac.id.Diakses tanggal 2 Oktober 2010.